Loading...


Mengenai puasa, mungkin saya tidak akan berbicara dalam konteks puasa menurut Al-Quran maupun Hadist. Namun, sembari menunggu waktu berbuka, mari kita melakukan refleksi mengenai apa makna di balik puasa, beranjak dari kaidah bahwa semua perintah agama itu tak lain adalah untuk pendewasaan manusia itu sendiri.

Dengan berpuasa, secara sosial, kita diajak untuk juga merasakan lapar sebagaimana seseorang yang secara ekonomi lemah dan kesulitan merasakan kenyang dalam kesehariannya. Olehnya puasa barangkali memiliki terminologi yang sama dengan “tirakat”. 

Tirakat sebagaimana puasa bukanlah sekadar upaya untuk menahan lapar dan haus saja, tetapi tirakat adalah sebuah upaya dimana kita mencoba untuk menaklukan “kekarepan” atau hasrat yang oleh Plato sebut sebagai thumos' (hasrat ingin diakui dan ingin dipuji) dan ephitumia (hasrat primitif seperti seks dan makan) yang ada dalam diri kita, sebagai sarana latihan untuk pengendalian diri dan pengenalan pada diri yang sejati atau dalam istilah Ki Ageng Suryamentaram kawaruh jiwa.

Menurut Fyodor Dostoyevsky, salah satu sastrawan dan filsuf besar Rusia - mengungkapkan bahwa ketaatan dan puasa adalah sebuah jalan untuk mendapatkan kebebasan yang sejati dan kenikmatan spritual, dimana kita memotong keinginan yang tak terkendali dan tidak penting, menundukkan kesombongan dan ketamakan serta menghukumnya dengan kepatuhan.

Dalam hal ini, tirakat dapat dikonseptualisasikan - tidak didasarkan atas keseragaman semata sebagaimana puasa bagi kebanyakan orang yang hanya menahan lapar dan haus, namun juga didasarkan atas rasa yang ada di dalam diri setiap orang melalui refleksim. Misalnya, jika saya sering merasakan rasa penyesalan karena terlalu ceplas-ceplos sehingga membuat orang lain kecewa, maka di sini saya harus berpuasa lisan atau menahan lisan saya semaksimal mungkin. Sehingga saya bisa belajar untuk lebih berhati-hati dengan ucapan saya.

Di sinilah bagi saya, letak latihan bagi logos (akal) untuk mengendalikan hasrat thumos dan ephitumia tadi agar dapat mencapai kenikmatan spiritualitas. Olehnya untuk melakukan hal ini, Ki Ageng Suryomentaram membaginya ke dalam 6 rumus praktis, yaitu sebutuhe, seperlune, secukupe, sebenere, semestine, sepenake tanpa bergantung atau dikendalikan oleh hasrat duniawi seperti thumos dan ephitumia, melainkan oleh logos.

Karena bagaimanapun, kita sering menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan. Mati kita ambil contoh. Di bulan puasa ini, setiap sore menjelang magrib -  jalanan mulai ramai dengan lapak-lapak yang menjual beraneka macam kue dan minuman terlihat nikmat sehingga membuat kita tertarik untuk membelinya. Namun ketika tiba waktu berbuka puasa terkadang kue dan lauk tersebut tidak juga kita habiskan karena kekenyangan. 

Itulah contoh di mana kita membeli sesuatu secara berlebihan, dalam pengertian membeli sesuatu yang sebenarnya tidak begitu perlu. Kita cenderung membeli sesuatu berdasarkan ego, bukan berdasarkan pada tujuan utamanya. Jika segelas air putih dan beberapa buah kurma saja sudah cukup, mengapa kita harus membeli banyak makanan?

Inilah yang disebut dengan perilaku konsumtif. Kondisi masyarakat konsumtif inilah yang kemudian dikritik oleh Herbert Marcuse. Meskipun demikian, harus diakui bahwa hidup manusia adalah hidup yang dipenuhi oleh keinginan dan harapan. Hal inilah yang mewarnai hidup manusia dan memberi gairah dalam menjalani kehidupan, meskipun menjadi penyebab utama rasa susah dan senang.

Oleh karena itu, bagi saya, puasa merupakan moment dimana kita mampu menahan diri kita dari hasrat duniawi sekaligus moment untuk merefleksikan diri melalui ketaatan kepada Tuhan. Sehingga ketika bulan Ramadhan ini berahir, kita bisa menjadi pribadi yang lebih tangguh - yang dapat mengendalikan hasrat duniawi sehingga dapat menemukan arti kenikmatan spiritual berupa cinta dan kasih sayang antara manusia dan Tuhan, manusia dan lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya.  

Inilah makna puasa menurut saya, bagaimana menurut kalian?

Subchan Adi MMahasiswa yang lupa diri.

Lebih baru Lebih lama