Loading...
Hei Nak, Bagaimana Airnya?

Di salah satu ceramahnya, penulis David Foster Wallace menjelaskan apa tujuan pendidikan yang sebenarnya. 

Bagi Wallace, pendidikan bukan tentang bagaimana menginput atau menghafalkan semua pelajaran yang diberikan guru atau dosen ke dalam otak kita, tetapi untuk mengajarkan kita tentang sesuatu yang jauh lebih mendasar tentang hidup: menyadari kemampuan setiap orang untuk memilih apa yang ingin dipikirkan dan apa yang ingin dilakukan. 

Tentu kau boleh-boleh saja hidup dengan bersikap reaktif terhadap rutinitas keseharianmu. Di jalan raya, kau rindu dengan mobil yang melaju kencang. Di minimarket, kau bosan menunggu antrian. Di tempat kerja, kau mengalihkan perhatianmu ke hal apa pun di sekitarmu agar lamanya waktu tidak terasa dan cepat berlalu.

Beberapa orang menjalani hidup mereka seperti itu. Mereka melakukan apa saja yang mereka bisa untuk bagaimana mengatasi momen yang membosankan dan sulit dalam rutinitasnya. Ada juga yang hobi mengeluh, dan terus-menerus bernostalgia dengan masa lalunya seperti 'saya dulu begini atau begitu' dan/atau berangan-angan dengan masa depannya. Kita lupa bahwa waktu, baik masa depan maupun masa lalu, bukan lah hal yang bisa ditarik-ulur sesuka hati seperti ketika kita menonton Youtube. Menangisinya pun tidak berguna.

Kita lebih banyak menderita dalam imaginasi, daripada dalam realitas. Seneca

Wallace mengatakan bahwa kita, pada dasarnya, punya banyak sekali pilihan dalam hidup, tidak peduli siapa kita. Kita bisa memilih untuk hidup penuh dengan kecemasan, penyesalan, dan juga kebosanan – atau memilih belajar memikirkan setiap momen yang kita jalani.

Alih-alih meratapi keadaan, berkelahi hanya gegara perbedaan pandangan politik, mengutuki cuaca yang terlalu panas atau terlalu dingin, atau mengeluhkan sifat teman yang berubah-ubah, kau bisa memilih untuk memenungkan sifat dari setiap peristiwa dan menyadari betapa sia-sianya emosi yang sudah kau keluarkan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Mengapa kita harus mengundang sakit kepala gegara hal-hal sepeleh yang berada di luar kontrol kita itu? 

Setiap saat, tanyai dirimu sendiri: Apakah ini perlu? Marcus Aurelius

Kau bisa memilih untuk memaafkan orang lain atas kesalahan mereka dan berharap mereka akan berubah dengan memahami bahwa sebagian besar perbuatan mereka berada di luar kendali mereka, dan bahwa jika kau sendiri berada di posisi mereka, pun kemungkinan besar kau akan bertindak sama seperti mereka. Kau bisa memilih untuk peduli tentang hal-hal yang hanya berada dalam kendalimu saja: memilih marah atau bahagia, memaafkan atau tidak. Cuaca, politik, teman, atau pertandingan bola, bukanlah sesuatu yang berada dalam kontrol kita. Seperti kata filsuf Stoa, Marcus Aurelius, 

"Kita tidak bisa mengontrol apa yang terjadi, tetapi kita bisa mengontrol bagaimana kita merespon apa yang terjadi."

Kau bisa memilih antara hidup dengan penuh perhatian dan pertimbangan-pertimbangan, atau hidup penuh dengan sikap acuh tak acuh. 

Wallace pernah menceritakan sebuah perumpamaan yang lucu tentang ikan;

Ada dua ikan muda yang berenang sembari bernyanyi sampai mereka bertemu dengan seekor ikan yang lebih tua dari arah berlawanan yang mengangguk ke arah mereka dan berkata, "Pagi, anak-anak. Bagaimana airnya?"

Namun kedua ikan itu tidak peduli dan terus berenang. 

Selang beberapa lama salah satu dari ikan itu melihat yang lain dan bertanya, "Air itu apa?"

Nah, sebagian besar dari kita seperti kedua ikan muda itu; kita bergerak dan menjalani hidup tanpa menyadari dan memenungkan kenyataan atau realitas di sekitar kita.

Lebih baru Lebih lama