Loading...

Di dunia akademik Barat, tampaknya masuk akal bahwa diskriminasi seharusnya tidak mendapat tempat di masyarakat, termasuk diskriminasi terhadap kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transeksual/transgender).

Pencapaian ini merupakan hasil dari perjuangan puluhan tahun dan pengalaman pahit fobia LGBT di masyarakat Barat.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia secara historis (sebenarnya) cukup toleran dengan orang-orang yang memiliki ekspresi gender dan orientasi seksual yang berbeda. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, negara ini telah mengalami peningkatan gelombang homofobia di ranah politik dan di masyarakat.

Hal ini juga terjadi di dunia akademis Indonesia.

Saya menyusun daftar insiden sepanjang 2016-2021. Meskipun mungkin tidak lengkap, daftar tersebut paling tidak dapat menunjukkan keterlibatan banyak institusi Indonesia dan juga mengungkapkan suasana permusuhan yang intens terhadap kelompok LGBT di universitas-universitas di Indonesia.

Insiden-insiden ini termasuk, antara lain, pemecatan mahasiswa dan staf yang mengidap “virus LGBT”, demonstrasi yang banyak disponsori oleh universitas terhadap mahasiswa LGBT, dan tindakan atau penolakan keras terhadap diskusi akademik dengan tema terkait hak komunitas LGBT.

Ketika akademisi Barat dan Indonesia terus terlibat dalam kerjasama, kita harus menemukan cara untuk bagaimana melawan tindak diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap orang-orang dengan ekspresi dan identitas gender non-heteronormatif.

Memperkuat Narasi Homofobia yang Disponsori Negara

Beberapa tahun belakangan, universitas-universitas di Indonesia telah bergandengan tangan dengan negara dalam usaha untuk menebarkan homofobia – termasuk juga melalui aparat penegak hukum dan pernyataan para politisi yang mana memicu kebencian terhadap kelompok LGBT.

Akademisi kerap bekerjasama dengan berbagai institusi tersebut dan mengandalkan pernyataan dari lembaga keagamaan negara. Di saat yang sama, banyak yang juga mempersenjatai aktivis anti-LGBT dengan argumen yang seakan terdengar berbasis sains.

Dalam wacana akademik, misalnya, sebagian akademisi Indonesia (dan juga mahasiswa) sering mengulang argumen negara bahwa komunitas LGBT adalah ancaman terhadap harmoni nasional.

Pada 2016, Menteri Riset dan Teknologi saat itu, Muhammad Nasir, melarang individu LGBT masuk di lingkungan universitas-universitas Indonesia. Dia mengatakan bahwa kelompok LGBT "merusak moral bangsa". Menteri pertahanan saat itu, Ryamizard Ryacudu, juga bahkan mengatakan gerakan LGBT adalah bagian dari proxy war yang bertujuan untuk melemahkan bangsa.

Akademisi biasanya menahan diri dari pernyataan dramatis semacam itu. Tapi, ada beberapa yang tetap berpegang dengan ide bahwa komunitas LGBT merupakan ancaman.

Istilah ekspresi gender yang non-heteronormatif di Indonesia, di tingkat nasional (seperti waria atau transpuan) maupun di budaya lokal (seperti bissu di Sulawesi Selatan atau tayu di Bengkulu) semakin tertutup oleh istilah payung “LGBT”, yang terasa asing dan memiliki asosiasi dengan Barat.

Selain itu, dalam diskursus publik maupun akademik, “LGBT” juga dikaitkan dengan konotasi yang merendahkan.

Stigma negatif yang melekat pada LGBT dalam wacana global biasanya terkait dengan pedofilia, intervensi Barat, pornografi, dan prostitusi. Namun, pernyataan para cendekiawan Indonesia seringkali menyoroti masalah kesehatan (LGBT sebagai ancaman yang menyebarkan penyakit menular seksual) maupun narasi yang berbasis agama.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pendukung anti-LGBT di dunia akademis (di Indonesia) kebanyakan memiliki latar belakang Islam yang konservatif. Mereka akhirnya menghubung-hubungkan klaim moral mereka tidak hanya dengan agama, tetapi juga dengan nasionalisme Indonesia.

Contoh umum adalah penggunaan ungkapan, “generasi muda bangsa”, yang dianggap terancam oleh penyakit menular seksual dan tindakan asusila. 

Penggunaan istilah “bangsa” merupakan alat yang efektif untuk menghubungkan moralitas agama dengan nasionalisme Indonesia. Sehingga komunitas LGBT pada akhirnya muncul sebagai wujud dari ancaman yang sebenarnya abstrak dan ambigu.

Akademisi Sebagai Aktivis Anti-LGBT

Cendekiawan konservatif Indonesia mulai mendapatkan perhatian publik pada 2017 ketika Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Mereka menuntut kriminalisasi terhadap aktivitas homoseksual dan aktivisme terkait LGBT dengan hukuman hingga lima tahun penjara. Seperti biasa, para akademisi ini berpendapat bahwa LGBT berkontribusi terhadap penyebaran HIV-AIDS. Mereka juga mengklaim tidak etis apabila individu LGBT mendapatkan jaminan kesehatan dan pengobatan yang dibiayai negara.

Tidak mengherankan, bahasa yang mereka gunakan tidak hanya merujuk pada temuan empiris tetapi juga pendirian moral.

Euis Sunarti, guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, adalah sarjana AILA. Ia mengajar di bidang “Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga”. Dalam pandangannya, aktivitas LGBT dapat mengancam institusi keluarga, oleh karena itu negara harus mengambil tindakan.

Pernyataan dari akademisi ini senada dengan otoritas keagamaan dan pejabat negara. Akibatnya, batas antara agama, negara, dan sains menjadi semakin kabur.

Narasi anti-LGBT ini juga berperan sebagai alat untuk menyatukan beragam kelompok sosial dan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, hal ini melanggengkan gagasan masyarakat yang harmonis dengan mengorbankan kelompok yang sudah termarginalkan.

Sayangnya, ini terwujud melalui penebaran kebencian dan prasangka.

Melawan Rasa Takut dan Benci

Banyak akademisi dari negara Barat menjalin hubungan baik dengan ilmuwan dan institusi akademik di Indonesia. Mengingat mereka selama ini mendukung aksi anti-diskriminasi di berbagai negara, semestinya para akademisi dunia tidak mengabaikan diskriminasi yang dilakukan institusi mitra di Indonesia terhadap komunitas LGBT.

Meskipun konflik langsung mungkin bukan pendekatan yang efektif, saya percaya bahwa para akademisi kritis tidak boleh diam ketika kelompok minoritas mengalami diskriminasi di kampus-kampus Indonesia.

Tugas mereka bukan hanya untuk menantang wacana anti-LGBT pseudo-ilmiah di dunia akademis Indonesia, namun juga menebar rasa empati untuk orang-orang yang terus termarginalkan dan diasingkan dari pendidikan hanya karena ekspresi dan identitas gender mereka.

Untungnya, Indonesia juga merupakan rumah bagi banyak cendekiawan kritis dan terlibat aktif dalam isu ini. Institusi akademik di berbagai negara maju bisa mengidentifikasi akademisi mana saja yang bisa digandeng sebagai mitra yang baik.

Namun, para sarjana Barat juga tidak boleh menghindari perdebatan kontroversial dengan rekan-rekan di Indonesia. Misalnya, saat penandatanganan MoU atau bentuk kesepakatan kerjasama lainnya dengan mitra di Indonesia, isu-isu seperti diskriminasi barangkali bisa diangkat dan dibicarakan.

Para akademisi yang kritis bisa menghadapi fobia LGBT di Indonesia dengan cara yang sama saat mereka mengkritisi, misalnya, meningkatnya Islamofobia di Barat. Mereka bisa menekankan pada mitra Indonesia bahwa kebencian terhadap minoritas yang didorong oleh negara secara struktur mirip dengan kebecian terhadap kelompok Muslim di Barat – dalam hal ini sebagai ancaman terhadap bangsa.

Membantu menciptakan dunia yang bersih dari kebencian dan prasangka adalah suatu kewajiban akademik. Ini adalah sesuatu yang harus dilakukan bersama-sama oleh para akademisi baik di Indonesia maupun di Barat.


Tulisan ini telah dialih-bahasakan oleh Redaksi Sophia Institute dari artikel asli The Conversation yang berjudul "When academics become anti-LGBT activists: fear and hate in Indonesian academia".

Timo DuileLecturer and researcher at the Institute for Oriental and Asian Studies, University of Bonn.
Lebih baru Lebih lama